Cerpen Karya Yusuf Nor Secha
Sebenarnya aku masih belum ingin pergi dari tempat ini, tempat
penebus kesalahanku, tempat penebus dosa ketika di dunia, aku masih
ingin lebih lama disini, ditempat berkumpulnya orang dengan kesalahan
dan dosa yang beraneka ragam, tempat 3x2 meter persegi yang diisi
delapan orang dalam satu kamar, tempat yang hanya cukup untuk
berselonjor kaki, tempat dimana awal aku menebus kesalahan yang aku tahu
tak mungkin bisa kutebus. Ini sudah tahun kelima setelah kejadian itu.
Apa daya aku tidak bisa mengelak saat diputuskan untuk keluar dari
tempat ini, aku tak tahu harus kemana, aku tak punya tempat tinggal
lagi, bahkan tak ada orang yang sudi mengakuiku sebagai saudara bahkan
teman. Sempat sesaat aku berpikir ingin menghabisi nyawa orang atau
merampok bank agar aku bisa kembali ketempatku dulu, tapi, itu justru
akan membawaku kejurang kenistaan yang lebih dalam lagi.
Cukup
lumayan jauh aku berjalan, kini kedua kakiku sudah tak tahan menahan
rasa lelah dan memaksaku untuk berhenti, meskipun aku masih ingin
berjalan lebih jauh lagi. Aku berhenti tepat di samping telefon umum,
aku rindu pada seseorang. Kuangkat gagang telefon yang menggantung itu,
kumasukan kepingan uang lima ratus rupiah hadiah dari sipir karena
kebebasanku tadi, ‘hallo..’terdengar suara yang sudah tampak berat dari
seberang sana, aku masih belum bisa membalas sapaan itu, sampai kedua
kalinya dia bertanya ‘hallo.. ini siapa yah..?” ‘ini aku no, aryo’
jawabku dengan suara lirih, ‘aryo..? aryo kuncoro..?” dengan nada
sedikit kaget, ‘iya no, kamu apa kabar..?” tanyaku, mencoba
menenangkannya, ‘kamu kapan bebasnya yo..? masyaallah, sudah lama aku
tak mendengar suaramu yo, alhamdullilah aku baik baik saja yo, kamu
gimana,” Tanya seno yang sepertinya sudah mulai tenang, ‘alhamdullillah
no, aku dapat remisi, kabarku juga alhamdullillah sehat no, oh ya, aku
mau tanya sesuatu sama kamu,”. ‘mau tanya opo yo..?” jawab seno dengan
logat jawa nya yang masih kental, sepertinya dia masih seperti seno yang
dulu tak berubah, ‘gini no, kamu tahu nggak sekarang Melati tinggal
dimana..?” tanyaku, ‘Melati anakmu..? ooh sekarang dia tinggal bersama
iparmu di Jogja.” “tuuuut…tuut..tuut” tiba tiba telefon terputus,
mungkin sudah habis, aku tadi hanya memasukan lima ratus rupiah saja.
Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan informasi yang penting dari Seno
sahabatku dulu.
Esoknya aku putuskan untuk pergi ke Jogja, aku
tidak yakin keluargaku dulu masih bisa menerimaku atau justru sudah
tidak ingin mengenalku lagi, sungguh dilematis hidupku ini, disatu sisi
aku ingin sekali bertemu dengan seseorang yang sudah lima tahun ini aku
rindukan, disisi lain aku takut mereka masih belum bisa menerima
kehadiranku. Sampai ahirnya aku bertekat memberanikan diri mengunjungi
kediaman iparku dulu.
Masih seperti dulu suasana tempat ini, asri
dan begitu tenang suasananya, suasana yang sudah lama aku rindukan,
suasana khas desa yang mengembalikan ingatanku lima tahun yang lalu.
Suasana yang tak pernah aku rasakan selama aku di rutan. Aku berhenti
didepan rumah joglo khas jawa, tiba tiba jantungku berdegup kencang,
keringat dingin mulai bercucuran dari kening dan tak kusadari sudah
membasahi seluruh wajahku, aku merasa kaki berubah menjadi beton yang
kaku dan tak dapat digerakan, sempat aku berpikir mengurungkan niatku
untuk memasuki rumah tersebut, hingga ahirnya terdengar suara yang
nampak berat yang berhasil membuyarkan lamunanku, ’maaf, mas saya mau
lewat.’ Kata seorang lelaki setengah baya dengan rumput segar kehijauan
yang diikat di belakang sepeda kumbang yang sudah tampak berkarat, ‘oh,
iya, maaf, silahkan pak,’kata ku dengan sedikit merundukan punggung dan
senyum simpul. Tak lama aku mendengar suara anak perempuan memanggil
laki-laki setengah baya tadi, ‘bapak-bapak,’ dengan suara manja khas
anak anak, tiba tiba aku sangat tertarik melihat gelagat anak perempuan
itu. Anak itu nampak cantik dengan rambut yang dibiarkan terurai sebahu
dengan daster khas anak-anak, sepertinya aku pernah melihat wajah lugu
itu, anak perempuan itu mengingatkanku pada seseorang yang pernah aku
cintai dan ahirnya aku lenyapkan dengan kejinya tindakanku yang tak
pernah bisa kumaafkan, entah apa yang membuatku tega menghabisi
seseorang yang jelas jelas mencintaiku, tapi kini aku merasa dia sangat
berharga setelah dia sudah tidak ada karna kebangsatanku sendiri, sebuah
penyesalan tidak akan berguna dan tidak akan bisa menebus dosa.
Anak
itu masih tetap menjadi obyek perhatianku, sepertinya ada sesuatu yang
menarik langkahku untuk menemui anak itu, tapi niat itu aku urungkan,
aku masih belum yakin dengan diriku dan belum berani dengan kenyataan.
Sorot mataku terus mengikuti kemana langkah kaki anak itu sampai ahirnya
dia membuatku terkejut bukan kepayang, seperti tersambar petir,
sepertinya anak itu tak sengaja menatapku dengan tatapan tak biasa,
tatapan yang begitu teduh, tatapan mata dari seorang anak yang sudah
lima tahun aku rindukan, sampai ahirnya ingatanku membawaku ke sebuah
nama “Melati, anakku”, yah itu melati, aku yakin itu melati anakku.
Namun dosa ini terlalu berat untuk aku pikul menemuinya sehingga aku
hanya bisa terdiam tak berani bergerak sedikitpun, begitu banyak
pertanyaan yang menjejali kepalaku saat ini, pertanyaan yang timbul
karna rasa ketakutanku pada kenyataan. Akankah mereka masih bisa
menerimaku,? apakah melati masih mengakuiku sebagai bapaknya dulu,? Atau
dia akan mengusirku jauh jauh dan tak ingin melihatku. Sampai ahirnya
aku melihat anak itu lari masuk kedalam rumah dan membiarkanku duduk
terpaku melihatnya pergi.
PROFIL PENULIS
Nama : Yusuf Nor Secha
TTL : Jepara 17 Januari 1993
Alamat : Desa Surodadi Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara
Pekerjaan : Mahasiswa
Add facebook : josef sheilagank